Sabtu, 01 Maret 2008

MEMETIK SECUIL FAIDAH DARI BUKU “Ithâful ‘Ibâd bi-Fawâidi Durūsi as-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbâd”


MEMETIK SECUIL FAIDAH DARI BUKU
“Ithâful ‘Ibâd bi-Fawâidi Durūsi as-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbâd”

dicopy dari
http://abusalma.wordpress.com/2008/02/29/resensi-buku-ithaful-%e2%80%98ibad/


covewr.jpgHari Kamis kemarin (28/02/2007), saya sempat singgah di toko buku Islam “Progressif” Jl. KHM Mansyur untuk melihat-lihat informasi buku baru. Lalu pandangan mata saya tertarik dengan sebuah judul buku yang cukup tebal dan hard-cover, berjudul “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” yang ditulis oleh al-Ustadz ‘Abduh Zulfidar Akaha, yang diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar. Saya kemudian mengambil buku tersebut dan membuka-buka halamannya. Wah, ternyata buku ini adalah jawaban dan bantahan terhadap buku Ustadz Luqman Ba’abduh, “Menebar Dusta Membela Teroris Khowarij.”

Lho, apa hubungannya Resensi buku “Ithâful ‘Ibâd” ini dengan buku Ustadz ‘Abduh Zulfidar di atas? Sebenarnya, saya tergelitik dengan satu bab khusus di dalam buku al-Ustadz ‘Abduh ZA –wafaqohullâhu wa iyyanâ- berkenaan tentang Untuk Siapakah Buku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah ditujukan. Di dalam bab ini, al-Ustadz ‘Abduh meragukan keabsahan pernyataan Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad sebagai penulis buku (kutayib) Rifqon, yang menjelaskan bahwa buku beliau tersebut (yaitu Rifqon Ahlas Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah) tidak ditujukan untuk Ikhwanul Muslimin, orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb, harokiyyin, orang yang sibuk dengan Fiqhul Wâqi’, mencela penguasa kaum muslimin dan orang yang merendahkan para ulama. Sebagaimana termaktub dalam buku “Ithâful ‘Ibâd” hal. 61.

Berikut ini adalah ucapan Syaikh dan scan image dari kitab aslinya :

rifqon1.jpg rifqon2.jpg

و الكتاب الذي كتبتة أخيراَ….لا علاقة للذين ذكرتهم في مدارك النظر بهذا الذي هو :رفقاَ أهل السنة بأهل السنة لا يعني الإخوان المسلمين , ولا يعني المفتونين بسيد قطب و غيرهم من الحركيين, و لا يعني أيظاً المفتونين بفقه الواقع و النيل من الحكام و كذلك التزهيد في العلماء لا يعني هؤلاء لا من قريب و لا من بعيد و إنما يعني أهل السنة فقط حيث يحصل بينهم الإختلاف فينشغل بعضهم ببعض تجريحاَ و هجراَ و ذماً

“Buku yang aku tulis terakhir ini yaitu Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah ada korelasinya dengan yang telah aku sebutkan di dalam Madârikun Nazhar. Risalahku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb dan selainnya dari para harokiyyin. Tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan fiqhul waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang yang merendahkan para ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka semua baik yang dekat maupun jauh. Sesungguhnya, risalahku ini aku peruntukkan untuk Ahlus Sunnah saja!!! Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah yang tengah terjadi di tengah mereka ini sekarang perselisihan dan sibuknya mereka antara satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela. [“Ithâful ‘Ibâd” hal. 60-61.]



Ustadz ‘Abduh meragukan penukilan di atas, beliau mungkin kesulitan di dalam melacak sumber penukilan tersebut, disebabkan karena mungkin buku ini belum begitu menyebar di toko buku berbahasa Arab di Indonesia. Beliau juga kesulitan mencari informasi buku ini dari situs di internet, apalagi setahu saya, situs yang mencuplik buku ini, yaitu misrsalafi, sudah tidak online lagi, dimana dari situs inilah, ustadz Ba’abduh (atau muridnya, al-Akh Alfian) menukilnya. Ustadz ‘Abduh juga mempertanyakan realitas buku “Ithâful ‘Ibâd” ini berikut penulisnya, sehingga ketika beliau belum mendapatkan otentisitas penukilan ucapan Syaikh ‘Abdul Muhsin di atas, beliau terkesan meragukan penukilan tersebut

Untuk itulah, di dalam artikel (baca : resensi) singkat ini, saya ingin berbagi informasi, dan tidak bermaksud membantah ustadz ‘Abduh maupun Ba’abduh, biarlah mereka berdua yang menyelesaikan polemik ini di kancah perdebatan ilmiah, walau saya kurang mengapresiasi ustadz Luqman Ba’abduh yang enggan diajak berdiskusi secara langsung oleh ustadz ‘Abduh. Seharusnya seorang salafy yang ilmiah, dia siap untuk diajak berdiskusi secara ilmiah dan terbuka secara langsung, sebagaimana guru kami, al-Ustadz ‘Abdul Hakim ‘Abdat dan Ustadz Abu Qotadah hafizhahumâllâhu, yang siap dan bersedia diajak diskusi secara langsung, ketika beliau berdua diundanng oleh PERSIS Jabar. [Lihat al-Masa’il jilid VIII, pendahuluan yang cukup panjang dari al-Ustadz ‘Abdul Hakim, yang mengklarifikasi tuduhan dari majalah PERSIS Jawa Barat pasca diskusi].

Demikian pula dengan Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Ubaikân hafizhahullâhu yang berani dan menantang balik tokoh takfiriyun untuk berdiskusi dan berdebat, sebagaimana dalam asy-Syarqul Awsâth (25/5/2005), dalam wawancara yang cukup panjang dengan Syaikh al-‘Ubaikân. Diantara yang dikatakan oleh Syaikh al-‘Ubaikân adalah : “Saya katakan, mereka yang membenarkan al-Qâ’ida dan ideologi takfirnya, mereka ini adalah orang yang dangkal dan pendek pemahamannya. Saya telah menantang untuk berdialog dengan orang-orang seperti mereka ini dengan media apapun. Saya telah duduk dan berdebat dengan para pendukung mereka baik di rumahku maupun di masjid. Saya, al-‘Ubaikân, siap menerima ajakan debat bahkan dengan Bin Lâdin sekalipun.” (Harian asy-Syarqul Ausâth, 25 Mei 2005. Lihat : http://www.asharq-e.com/news.asp?section=3&id=85)

Syaikh ‘Alî Hasan pun beberapa kali duduk berdialog dengan lawan-lawan beliau, yang sebagiannya bahkan terekam di TV. Beliau pernah berdialog dengan Syaikh Muhammad Abū Ruhayyim, Hasan as-Saqqof, Demikian pula dengan Syaikh Salîm al-Hilâlî, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz ar-Rayyis, Syaikh Muhammad Sa’id Ruslân, dll. Mereka semua tidak segan untuk berdiskusi dalam rangka menunjukkan al-Haq… Untuk itulah, saya mengharap supaya al-Ustadz Luqman Ba’abduh bersedia untuk diajak diskusi dan menjelaskan al-Haq, agar tidak semakin menyebar fitnah bahwa al-Ustadz adalah orang yang ‘pengecut’ –na’ūdzubillâhi- semoga tidak demikian…



Resensi Singkat Buku

cover2.jpg

Judul buku : Ithâful ‘Ibâd bi-Fawâidi Durūsi as-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbâd

Penulis : Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Abdillâh al-‘Umaisân

Koreksi & Taqrîzh : Fadhîlatusy Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbâd al-Badr

Penerbit : Dârul Imâm Ahmad – Mesir

Cetakan : Pertama, 1426 H – 2005 M

Buku ini sebenarnya saya peroleh pada pertengahan tahun 2006, hadiah dari seorang teman yang pulang haji, yaitu saudara saya yang mulia, teman seperjuangan di dalam dakwah, al-Akh Abu Furqon Amali –Jazzahullâhu khoyrol jazâ`-

Buku ini berjumlah 192 halaman yang terdiri dari sejumlah bab yang berkaitan dengan fawaid (faidah-faidah) hadits yang disampaikan oleh al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd al-Badr di Masjid Nabawi pada kajian Syarh Sunan Abî Dâwud. Yang menyusun buku ini adalah seorang thâlibul ‘ilmi yang senantiasa menghadiri kajian Syaikh di Masjid Nabawi, yaitu Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Abdillâh al-‘Umaisân. Disebutkan dalam pendahuluan buku ini, yang diberi kata pengantar oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin sendiri, bahwa Syaikh al-‘Umaisân tidak pernah meninggalkan kajian yang disampaikan Syaikh al-‘Abbâd selama 5 tahun kecuali hanya 5 kali saja.

Berikut ini adalah taqrîzh (rekomendasi/kata pengantar) Syaikh al-‘Abbâd di dalam buku Ithâful ‘Ibâd :

sroh.jpg



Segala puji hanyalah milik Allôh semata. Semoga Allôh senantiasa melimpahkah sholawat dan salam-Nya kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma Ba’d :

Saya telah menelaah (buku yang berisi) faidah-faidah yang berkaitan dengan hadits beserta seluk beluk ilmu-nya dan para perawinya (Rijâlul hadîts) yang dikumpulkan oleh al-Akh asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Abdillâh al-‘Umaisân dari pelajaranku di Masjid Nabawi tentang Syarh Sunan Abî Dâwud. Beliau adalah seorang mulâzim (yang senantiasa menghadiri pelajaran) dan beliau menyebutkan bahwa beliau tidak pernah ketinggalan pelajaran melainkan hanya lima kali saja dari rentang waktu yang panjang selama hampir 5 tahun. Sungguh baik apa yang telah beliau lakukan, semoga Allôh mengganjarnya dan memberkahi hasil upaya beliau ini.

Saya tidak melarang penyebaran buku ini dalam rangka untuk memperluas manfaat di dalamnya. Saya memohon kepada Allôh agar memberikan taufik-Nya kepadaku dan beliau serta seluruh penuntut ilmu agar memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, sesungguhnya, Allôh adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Semoga Allôh senantiasa melimpahkah sholawat dan salam-Nya kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang berusaha mengikuti mereka dengan lebih baik.

Ditulis oleh

‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbâd al-Badr

14-10-1425 H.

Dari rekomedasi Syaikh di atas, jelas bahwa buku ini ditelaah dan direkomendasikan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd sendiri. Sehingga, apa yang dipaparkan di dalamnya, adalah atas sepengetahuan dan seizin Syaikh, serta tidak ada celah untuk meragukan dan mempertanyakannya.

Sedikit berbagi informasi pula, buku ini berisi dengan faidah-faidah haditsiyah yang sarat akan manfaat dan ilmiyah. Seakan-akan, Syaikh al-‘Umaisân mengekstrakkan bagi pembaca buku ini, faidah-faidah hadits yang disampaikan al-‘Allâmah al-‘Abbâd selama 5 tahun, terangkum dalam buku ini.



Sekilas tentang Bab-Bab dalam Buku ini

Buku ini diawali dengan bab “Fadhlu Ahlil Hadîts wa ‘Uluwwi Makânnatihim” (Keutamaan Ahli Hadits dan Kedudukan Mereka yang Mulia), kemudian dilanjutkan dengan Fadhlu Ma’rifati ‘Ilmir Rijâl (Ketamaan Mengetahui Ilmu Perawi). Dalam bab ini, dinukil ucapan emas al-Imam Ibnu al-Madini yang mengatakan :

“Tafaqquh (mempelajari) makna-makna hadits adalah separuh daripada ilmu, dan mempelajari para perawi (rijâl) hadits adalah separuh ilmu.” [hal. 14]

Bab berikutnya adalah al-Jarh wat Ta’dîl bihaqqin Laysa minal Ghîbah al-Muharromah fî Syai`in (Jarh (mencela/mencacat perawi) dan ta’dîl (memuji) secara benar tidaklah termasuk sedikitpun dari menggunjing yang diharamkan). Di sini, dipaparkan kriteria ghîbah yang diperbolehkan, dimana jarh wa ta’dîl merupakan ghîbah yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan apabila untuk membela kemurnian agama.

Bab selanjutnya adalah Dhowâbith fî Ma’rifatir Rijâl (Kriteria di dalam mengenal perawi). Dalam hal ini dicontohkan dan dijelaskan bagaimana cara membedakan Hammâdain (dua Hammâd, yaitu Hammâd bin Salamah dan Hammâd bin Zaid) dan Sufyanain (dua Sufyân, yaitu Sufyân bin ‘Uyainah dan Sufyân ats-Tsaurî).

Dan seterusnya, silakan baca daftar isi buku ini dengan mengklik di sini.



Beberapa Faidah Penting Dari Buku Ini

Berikut ini adalah beberapa faidah penting dari buku ini, yang mungkin dapat bermanfaat, terutama bagi al-Ustadz ‘Abduh ZA dan al-Ustadz Luqmân Ba’abduh.

Tentang Buku Madarikun Nazhar

Syaikh hafizhahullahu ditanya : “Apakah benar dikatakan bahwa anda tidak membaca (buku Madarikun Nazhar) melainkan hanya muqoddimahnya saja dan anda tidak setuju dengan penulisnya (Syaikh ‘Abdul Malik) di dalam kritikannya terhadap beberapa orang yang ia kritik, apa tanggapan anda?”

قرأت الكتاب من أوله إلى آخره مرتين وأنا لا يمكن أن أكتب كتابة عن كتاب إلا وقد اطلعت عليه من أوله إلى آخره.

Syaikh menjawab : “Aku telah membaca buku ini dari awal sampai akhir sebanyak dua kali. Dan aku tidak mungkin menulis sebuah pengantar terhadap sebuah buku melainkan aku menelaahnya dari awal sampai akhir.” [hal. 61]



Buku-buku yang dipuji dan dianjurkan oleh Syaikh

1. ‘Ilmur Rijâl dan Hadits

*

Buku Riyâdhul Mustathôbah karya al-‘Âmirî al-Yamanî. Kata Syaikh, buku yang sangat bagus sekali, dan diantara bagusnya buku ini adalah, penulis menyebutkan sahabat beserta anak-anaknya disertai keterangan akan ibunya.

*

Tahdzîbul Kamâl karya al-Mizzî, yang diringkas oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzîbut Tahdzîb lalu diringkas lagi dengan judul Taqrîbut Tahdzîb dan adz-Dzahabî dalam Tahdzîbit Tahdzîbil Kamal.
*

Buku Mîzanul I’tidâl karya adz-Dzahabî. Syaikh menjelaskan keistimewaanna secara panjang lebar.
*

Buku “Ujalatul Imlaa` karya an-Naaji, buku yang sangat bermanfaat sekali. Nama aslinya adalah al-Hafizh Burhanudin an-Naaji.
*

Buku-buku karya Ibnu Rojab al-Hanbali yarhamuhullahu dalam bidang hadits.
*

Musnad ad-Darimi dan Sunan ad-Darimi, keduanya ini pada hakikatnya adalah satu buku yang sama.
*

Buku Tahdzibu as-Sunan karya Ibnul Qoyyim rahimahullahu.
*

Buku al-Lu`lu` wal Marjaan fiima ittafaqo ‘alaihi asy-Syaikhoon karya Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, buku yang sangat bagus. Sanad-sanadnya dihilangkan agar ringkas dan jumlah haditsnya adalah 1906.

2. ‘Aqidah

*

Buku Tathhîru al-I’tiqôd karya ash-Shon’âni dan Syarh ash-Shudūr fi Tahrîmi Raf’il Qubūri karya asy-Syaukâni.

Syaikh ‘Abdul Muhsin berkata :

“Keduanya adalah dua buku yang mulia. Aku banyak mengambil faidah dari keduanya terutama di dalam bantahanku terhadap Hasan al-Maliki.

*

Buku al-Ushulu ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Ibnu ‘Abdil Wahhab.

3. Bantahan

*

Buku at-Tankîl fir Raddi ‘alal Kautsârî karya al-Mu’âlimi al-Yamani, kitab yang baik dan di dalamnya sarat akan faidah.

*

Buku Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi hafizhahullahu yang berjudul Dahru Iftiro`ât Ahli az-Zaigh wal Irtiyâb ‘an Da’wati al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb, buku yang lurus, sangat bermanfaat sekali.
*

Buku Syaikh ‘Abdul ‘Azîz ar-Rayyis di dalam membantah Hasan al-Maliki, buku yang ringkas namun bermanfaat.
*

Buku Madârikun Nazhar fis Siyâsah.

4. Fikih

*

Kitab fikih yang paling luas pembahasannya adalah al-Mughnî karya Ibnu Qudamah, al-Majmū’ karya an-Nawawi dan al-Istidkzâr karya Ibnu ‘Abdil Barr.

*

Buku Ahkâmul Janâ`iz wa Bida’uha karya Syaikh al-Albânî rahimahullâhu, Syaikh ‘Abdul Muhsin berkata tentangnya, “Aku tidak tahu ada buku yang lebih memadai daripada Ahkâmul Janâ`iz dan buku ini adalah yang paling utama yang pernah ditulis.”
*

Buku I’lâmul Muwaqqi’în, buku agung yang Syaikh menasehatkan para pelajar untuk mempelajarinya dan mengambil faidah darinya. Buku ini mencakup hukum-hukukm syar’i dan penjelasan akan hikmah-hikmahnya.

5. Tafsir

*

Buku Tafsîr Ibnu Katsir, merupakan buku tafsir yang paling bermanfaat, Syaikh menasehatkan para pelajar supaya mempelajarinya.
*

Buku Tafsir as-Sa’di, buku yang ringan cocok bagi para pelajar pemula dan ulama sekalipun. [hal. 58-62]

Tentang Buku Sayyid Quthb

Syaikh ditanya tentang buku-buku Sayyid Quthb, apakah beliau menasehatkannya untuk dibaca? Syaikh menjawab :

“Aku menasehatkan untuk membaca buku-buku yang isinya benar-benar selamat, adapun contoh dari buku-buku ini –yaitu buku-buku karya Sayid Quthb-, keselamatan di dalamnya tidaklah jelas. Aku katakan, umur itu pendek maka hendaknya disibukkan dengan hal-hal yang lebih jelas keselamatannya, seperti buku-buku salaf.”

Kemudian syaikh ditanya lagi tentang bagaimana dengan menukil dari buku ini? Syaikh menjawab :

“Segala puji hanyalah milik Alloh yang telah mencukupkan dari selainnya, sepatutnya menukil hanya dari buku-buku yang selamat.” [hal. 64-65]

Muhammad Surūr dan bukunya Manhajul Anbiyâ’

Syaikh ditanya tentang Muhammad Surur bin Zainal ‘Abidin di bukunya Manhajul Anbiyâ’ fîd Da’wati ilallôhi, apakah beliau nasehatkan untuk membacanya? Syaikh menjawab :

“Aku tidak menasehatkan untuk membaca sedikitpun dari tulisan orang ini. Aku telah menelaah ucapannya yang jelek di dalam majalahnya “as-Sunnah” yang ia jadikan sebagai mimbar untuk memerangi ahlus sunnah dan mencela Ulama besar kerajaan dengan celaan yang keji.” [hal. 65]

Tentang buku Ihyâ’ Ulūmuddîn

Syaikh ditanya tentang buku Ihya` ‘Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghozali, apakah beliau nasehatkan untuk ditelaah dan dibaca? Syaikh menjawab :

“Aku tidak menasehatkan untuk membacanya dikarenakan di dalamnya ada perkara yang baik dan ada yang buruk. Di dalamnya ada perkataan yang bagus dan ada perkataan yang jelek. Seorang manusia hendaknya membaca buku yang isinya benar-benar selamat (dari kesalahan dan kebatilan). Terkadang seseorang membaca buku ini kemudian merasuk sesuatu (yang buruk) pada sanubarinya, atau ia menganggap baik sesuatu yang sebenarnya buruk.” [hal. 65]

Pendapat Syaikh tentang menerima periwayatan Ahli Bid’ah

Syaikh berkata,

“periwayatan dari ahli bid’ah memiliki perincian, yaitu ada dua segi : Pertama, apabila dia seorang yang menyeru kepada bid’ahnya, maka tidak diriwayatkan darinya sedikitpun tanpa terkecuali. Kedua, apabila ia adalah orang yang terancukan dengan bid’ah namun ia tidak menyeru kepada bid’ahnya tersebut, yang demikian inilah yang dibolehkan oleh para salaf meriwayatkan darinya.” [hal. 128]

Pendapat Syaikh tentang hukum asal seorang muslim

Syaikh ditanya, “apakah hukum asal seorang muslim itu adalah adil?”

Syaikh menjawab, “Hukum asal seorang muslim adalah ia tidak dijarh dan tidak pula dita’dil, melainkan setelah tampak adanya perkara yang mengharuskannya dijarh atau dita’dil. Oleh karena itulah kita tidak menerima hadits dari orang yang majhūl (tidak dikenal) keadaannya. [hal. 130]

Pendapat Syaikh tentang mencukupkan diri dengan buku Jarh wa Ta’dil ulama kontemporer

Syaikh hafizhahullahu ditanya, “Apakah kita hanya mencukupkan diri dengan buku-buku ulama kontemporer di dalam Jarh wa Ta’dil ataukah ulama lampau?

Syaikh hafizhahullahu menjawab, “Ulama kontemporer, mereka meneliti buku-buku ulama terdahulu dan kalian dapatkan hasilnya yang kini berada di tengah-tengah kita, tanpa ada sesuatupun yang baru. Aku menasehatkan kepada para penuntut ilmu untuk membaca buku ulama terdahulu dan kontemporer, meskipun karya ulama terdahulu telah mercukupi, karena mereka adalah pondasi yang dibangun di atas mereka (ilmu ini).” [hal. 146]

Pendapat Syaikh tentang menyingkat sholawat kepada Nabi dengan saw

Syaikh hafizhahullahu berkata,

“termasuk diantara kesalahan para penulis saat ini adalah mereka menulis shighah sholawat kepada Rasul kita yang mulia dengan disingkat menjadi “ص” atau “صلعم” –atau disingkat saw- atau dipendekkan menjadi “Shallallahu” atau “alaihis Salam” saja, padahal selayaknya menghimpun antara sholawat dan salam sekaligus, maka kita katakan “Shallallahu ‘alaihi wa Salam” baik dengan ucapan maupun tulisan, sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzaab : 56). . [hal. 137]

Pendapat Syaikh tentang ucapan karomallohu wajhaju kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu

Syaikh hafizhahullahu berkata,

“termasuk kesalahan yang para penulis kontemporer banyak terjerumus ke dalamnya dan juga para penulis terdahulu, adalah penulisan karomallohu wajhahu atau ‘alaihi Salam setelah menyebutkan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu… Hal ini, walaupun sekalipun maknanya benar, namun sepatutnya mempersamakan diantara para sahabat di dalam penyebutannya, karena hal ini termasuk bab pengagungan dan pemuliaan, maka Syaikhain (Abu Bakar dan ‘Umar) dan Amirul Mu’minin ‘Utsman adalah lebih utama, semoga Alloh meridhai mereka semua.” [hal. 137-138]

Pujian terhadap Imam al-Albani

Beliau hafizhahullahu berkata :

“Ada dua orang, yang penuntut ilmu merasa tercukupi denga buku karya keduanya di dalam ilmu hadits, yaitu Ibnu Hajar dan al-Albânî rohmatullahi ‘alahimâ. [hal. 58]

Pujian terhadap Imam Ibnu Baz

Ketika menukil ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar tentang biografi Ibnul Mubarok rahimahullahu yang dikatakan oleh al-Hafizh sebagai Tsiqoh tsabt, faqih ‘âlim, Syaikh mengatakan :

“Orang yang semisal dengan beliau di zaman ini adalah Syaikh kami, al-Imam Syaikhul Islam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.” [hal. 115]

Pujian terhadap Hafizh al-Hakami

“Telah meninggal al-Hazimi rahimahullahu dan umur beliau adalah 35 tahun. Adz-Dzahabi berkata tentang beliau di dalam kitabnya “Man yu’tamadu qouluhu fil Jarhi wat Ta’dil” : “Beliau wafat dalam keadaan masih muda belia”. Beliau memiliki kitab lainnya, judulnya “al-I’tibaar fin Nâsikh wal Mansūkh minal Âtsar”.

Orang yang seperti beliau di zaman ini adalah Hafizh al-Hakami rahimahullahu, beliau wafat dan umur beliau adalah 35 tahun. Tulisan-tulisan beliau tersebar di perpustakaan-perpustakaan dan para penuntut ilmu banyak memetik faidah darinya…” [hal. 27 – catatan kaki]

Demikian sekilas resensi buku ini, Semoga bermanfaat…

Tidak ada komentar: